Diskriminasi usia di pasar kerja Generasi X, yang mencakup individu berusia 44 hingga 59 tahun, kini menghadapi tantangan besar di pasar kerja, terutama karena bias usia yang semakin meluas. Banyak pekerja di kelompok usia ini merasa kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan, meskipun mereka memiliki pengalaman yang lebih dari cukup. Laporan terbaru menunjukkan bahwa fenomena ini semakin meluas, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi pasca-pandemi dan percepatan teknologi, termasuk munculnya kecerdasan buatan (AI).  Masalah usia dalam karir semakin menjadi isu utama yang mempengaruhi banyak pekerja berpengalaman.
Tantangan yang Dihadapi Pekerja Gen X
Nick, seorang eksekutif HR berusia 49 tahun asal AS, mengungkapkan pengalamannya setelah dipecat pada Mei lalu. Meskipun telah melamar ratusan pekerjaan, ia hanya berhasil mendapatkan beberapa wawancara, dan pada akhirnya, posisi yang ia lamar selalu diberikan kepada kandidat yang lebih muda. “Sulit untuk tidak merasa dipersonalisasi,” ujar Nick. “Saya memiliki rekam jejak yang luar biasa dan banyak pengalaman. Sebuah perusahaan seharusnya beruntung mempekerjakan saya, bukan?”
Nick kemudian menceritakan sebuah pengalaman dengan seorang manajer rekrutmen yang dengan terang-terangan menyatakan, “Anda tidak bisa membuat banyak perubahan karier lagi di usia Anda,” yang menurutnya merupakan bentuk diskriminasi usia yang jelas. Pernyataan tersebut mencerminkan bagaimana Tantangan di dunia kerja memengaruhi kesempatan pekerja Gen X, meskipun mereka membawa pengalaman dan keterampilan yang sangat berharga.
Mengapa Gen X Terkena Dampak Terbesar
Fenomena diskriminasi usia bukanlah hal baru di dunia kerja. Namun, berbagai faktor seperti PHK massal, ketidakpastian ekonomi pasca-pandemi, dan perubahan teknologi yang cepat—termasuk munculnya AI—telah memperburuk keadaan bagi pekerja Gen X. Sebuah survei yang dilakukan oleh AARP pada tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 80% pekerja berusia 40 hingga 65 tahun melaporkan telah menghadapi atau menyaksikan diskriminasi di tempat kerja.
Bagi pekerja Gen X, yang kini sedang menghadapi fase tengah karier, tantangan semakin besar. Banyak posisi kepemimpinan yang biasanya mereka isi kini tertunda karena banyak pekerja Baby Boomer yang menunda pensiun. Selain itu, pekerja muda lebih sering dipilih untuk posisi-posisi yang tersedia karena dianggap lebih mudah beradaptasi dengan teknologi terbaru. Padahal, para ahli mengatakan bahwa penilaian ini tidak selalu akurat, bahkan bisa jadi sepenuhnya keliru. Masalah ini semakin mempersulit pekerja Gen X untuk mendapatkan peluang yang sama.
Beban Tambahan yang Dihadapi Gen X
Menurut Christina Matz, seorang profesor di Boston College, pekerja Gen X sering kali berada dalam fase kehidupan yang disebut “sandwich”, di mana mereka harus menyeimbangkan antara pekerjaan, merawat anak-anak, dan mendukung orang tua yang sudah lanjut usia. “Mereka memiliki banyak tanggung jawab, baik waktu maupun finansial,” kata Matz. “Dan kebanyakan dari mereka belum siap untuk berhenti bekerja.” Hal ini semakin memperburuk dampak dari Masalah usia dalam karir, karena mereka sering kali merasa terjebak antara tuntutan karier dan keluarga.
Gen X juga berada di posisi yang sulit karena mereka tidak sepenuhnya dianggap sebagai pekerja digital native seperti generasi muda, namun juga tidak sepenuhnya dianggap sebagai pekerja yang sudah berpengalaman seperti generasi yang lebih tua. Hal ini membuat mereka merasa terjebak di tengah-tengah, tanpa kategori yang jelas, dan sering kali menjadi korban diskriminasi usia.
Mengatasi Tantangan Diskriminasi Usia
Banyak pekerja Gen X merasa telah melamar ke ratusan perusahaan tanpa hasil yang memadai. Meski demikian, mereka tetap berusaha dengan harapan akan ada perusahaan yang menghargai pengalaman dan keterampilan mereka. Adrion Porter, seorang ahli yang bekerja di bidang inklusi usia, berpendapat bahwa Gen X sebenarnya lebih adaptif daripada yang banyak orang kira. “Kami memasuki dunia kerja saat email baru diperkenalkan. Kami harus belajar tentang internet, Web 2.0, dan sekarang AI,” kata Porter, yang juga merupakan bagian dari Gen X.
Porter juga menekankan bahwa kesalahan besar perusahaan adalah menganggap bahwa pekerja muda lebih unggul dalam hal keterampilan digital. “Kami, Gen X, sudah beradaptasi dengan berbagai teknologi sepanjang karier kami. Kami harus belajar agar tetap relevan—belajar atau mati,” ujarnya. Diskriminasi usia sering kali muncul karena anggapan yang salah bahwa pekerja lebih tua tidak dapat beradaptasi dengan perubahan teknologi.
Diskriminasi Usia dan Isu yang Tergolong Toleransi Sosial
Salah satu aspek yang membuat diskriminasi usia begitu meresahkan adalah fakta bahwa diskriminasi ini sering dianggap lebih dapat diterima daripada jenis diskriminasi lainnya. Porter menyatakan bahwa diskriminasi usia adalah satu-satunya “ism” yang masih banyak ditoleransi di tempat kerja, meskipun pada kenyataannya, semua orang akan mengalami penuaan. “Semua orang akan menjadi lebih tua, dan kita harus mulai menghadapinya,” tegasnya. Ini adalah seruan untuk mulai mengatasi dengan lebih serius.
Bagaimana Perusahaan Bisa Mengatasi Diskriminasi Usia?
Salah satu pendekatan untuk mengurangi diskriminasi usia di tempat kerja adalah dengan menciptakan program inklusivitas. Namun, menurut laporan dari PwC pada Januari 2023, hanya sekitar 8% dari perusahaan di Eropa yang memasukkan isu usia dalam strategi keragaman, kesetaraan, dan inklusi (DEI) mereka. Hal ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang belum memperhatikan Masalah usia dalam karir secara serius.
Christina Matz berpendapat bahwa perusahaan tidak hanya menghalangi pekerja mid-career, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk menciptakan praktik inklusi usia yang lebih baik, terutama mengingat perubahan demografis yang semakin terlihat di seluruh dunia kerja. Masalah ini perlu diatasi dengan kebijakan yang lebih inklusif untuk memastikan pekerja dari berbagai usia dapat berkontribusi secara optimal.
Masa Depan yang Masih Penuh Harapan
Nick, meskipun telah menghadapi berbagai tantangan dalam pencarian kerja selama sepuluh bulan, tetap optimis. “Pekerjaan tidak mendefinisikan saya. Saya tahu itu. Tapi, ketika berbulan-bulan berlalu tanpa hasil, itu menjadi sangat sulit,” ungkap Nick. “Saya harus terus mengingatkan diri saya bahwa ini bukan salah saya.”
Nick memiliki beberapa wawancara yang sudah dijadwalkan dalam beberapa minggu mendatang dan tetap berharap bahwa manajer perekrutan berikutnya akan menghargai apa yang ia bawa ke meja. “Beberapa orang berpikir bahwa usia 50 tahun itu sudah tua,” katanya. “Tapi, usia 50 tahun itu justru puncaknya.” Meskipun menghadapi diskriminasi usia, Nick tetap berharap bahwa semakin banyak perusahaan yang akan menghargai pengalaman dan keterampilan pekerja dari generasi ini.