Business
Beranda / Business / Mengapa Kolaborasi Produk ‘Aneh’ Bisa Laris Terjual Dalam Hitungan Jam?

Mengapa Kolaborasi Produk ‘Aneh’ Bisa Laris Terjual Dalam Hitungan Jam?

Mengapa Kolaborasi Produk 'Aneh' Bisa Laris Terjual Dalam Hitungan Jam?

Kolaborasi produk ‘aneh’ menjadi tren yang menarik perhatian banyak orang. Dengan memadukan dua produk yang tidak terduga, merek mampu menciptakan daya tarik yang unik dan mengundang rasa penasaran.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana kreativitas dalam pemasaran bisa menghasilkan hasil yang luar biasa meskipun dengan ide yang terlihat tidak biasa.

Kolaborasi Produk ‘Aneh’ Meningkatkan Penjualan

Dikutip dari BBC, pada Januari 2024, merek perawatan kulit alami Burt’s Bees bekerja sama dengan Hidden Valley Ranch, perusahaan asal AS yang terkenal dengan saus salad krim dan pedas, untuk meluncurkan sebuah produk lip balm dengan empat varian rasa. Produk lip balm dengan rasa saus salad dan sayap buffalo mungkin terdengar aneh, namun, berkat pemasaran yang cerdik dan rasa penasaran konsumen, produk ini terjual habis dalam hitungan jam.

Burt's Bees and Hidden Valley Ranch lip balm collab sells out in record time - Global Cosmetics News

Kolaborasi ini hanyalah yang terbaru dalam rangkaian panjang kolaborasi merek yang tidak biasa, mulai dari cat kuku beraroma keju Velveeta, hingga kemitraan antara Museum Van Gogh di Amsterdam dan Pokémon pada tahun 2023. Meskipun kolaborasi terbatas ini tidak selalu menghasilkan keuntungan besar, para ahli berpendapat bahwa mereka berhasil menyentuh selera konsumen yang sangat menggemari hal-hal baru dan unik, yang membuat produk tersebut sangat diminati.

Era Pemasaran Chronically-Online

Kolaborasi merek bukanlah hal baru, terutama di sektor mode mewah dan kuliner. Namun, produk-produk aneh yang kini viral di TikTok—seperti sandal Crocs bermerek Kentucky Fried Chicken (KFC)—adalah hasil dari apa yang disebut Jenna Drenten sebagai era pemasaran chronically-online.

KFC and Crocs Release Shoe Collab With Chicken-Shaped and -Scented Jibbitz - Eater

Menurut Drenten, seorang profesor pemasaran di Loyola University Chicago, merek-merek saat ini seolah-olah berkata, “Ayo coba saja, siapa tahu berhasil.” Dia mencontohkan merek seperti Duolingo, aplikasi pembelajaran bahasa dengan kehadiran media sosial yang pasif-agresif, serta Wendy’s, rantai fast food yang terkenal dengan respon cepat terhadap budaya meme, sebagai contoh merek yang ikut berperan dalam fenomena chronically-online.

Hal ini terjadi akibat defisit perhatian dalam budaya konsumen digital saat ini. “Konsumen sangat cepat bosan dengan penawaran yang ada di pasar,” kata Drenten dikutip dari BBC. “Kolaborasi yang tak terduga antara merek menjadi cara yang efektif untuk menyegarkan kembali citra merek tanpa perlu usaha besar dari pihak merek itu sendiri.”

Seiring dengan itu, media sosial telah mengubah dinamika hubungan antara merek dan konsumen. “Konsumen sekarang memiliki lebih banyak kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan merek dan memberi tahu apa yang mereka inginkan—untuk berdialog,” tambahnya.

Dinamika ini membuka peluang bagi kolaborasi merek yang lebih terbuka dan kadang-kadang bahkan dapat memunculkan kemitraan yang tidak terduga.

Menurut Shilpa Madan, profesor pemasaran di Singapore Management University, ekosistem yang kompetitif ini menjadi tempat yang subur untuk kolaborasi merek yang tidak biasa.

“Konsumen masa kini, terutama yang memiliki daya beli, telah tumbuh dengan internet dan media sosial,” kata Madan. “Kolaborasi yang nakal dan memanfaatkan platform digital untuk bercerita dan berinteraksi sangat efektif dalam menarik minat dan dompet konsumen.”

Kolaborasi Merek yang Menghasilkan Efek Positif

Selain menciptakan produk yang laris manis, kolaborasi merek juga bisa memunculkan apa yang disebut Drenten sebagai efek halo—pengalaman positif yang terbawa dari satu merek ke merek lain.

“Perasaan baik kita terhadap satu merek bisa menular ke merek lainnya dalam kolaborasi semacam ini,” jelasnya. “Efek halo ini memberi merek-merek kolaborator nilai budaya.”

Sebagai contoh, Crocs, merek sandal asal Amerika, yang bekerja sama dengan berbagai rantai fast food seperti KFC, serta musisi populer seperti Justin Bieber, Bad Bunny, dan Post Malone, kini dianggap lebih dari sekadar merek sepatu sederhana.

“Kolaborasi ini telah menyelamatkan dan mengubah citra merek Crocs,” kata Drenten, menyebutkan bagaimana Crocs berhasil bertransformasi menjadi merek sepatu mode yang mengikuti tren dan budaya saat ini.

Hal serupa terjadi pada Kraft Heinz, yang bekerja sama dengan Absolut Vodka untuk meluncurkan saus pasta edisi terbatas di Inggris tahun lalu. Caio Fontenele, direktur pengembangan bisnis di Kraft Heinz, mengatakan bahwa kolaborasi ini membantu mereka menjangkau audiens muda yang mungkin sebelumnya tidak mempertimbangkan mereka sebagai perusahaan saus pasta.

Absolut Vodka partners with Heinz to launch a new limited-edition pasta sauce – The Absolut Group

Menurut Fontenele, “Kolaborasi ini memberi Absolut keuntungan dari ‘faktor keren’-nya, sementara kami bisa memanfaatkan kekuatan merek dan jangkauan kami, membuka peluang baru untuk produk mereka.”

Kolaborasi Juga Membantu Merek Kecil

Efek halo ini juga bermanfaat bagi merek kecil yang ingin berkembang, seperti yang dialami oleh Tyler Malek, kepala koki dan salah satu pendiri perusahaan es krim Salt & Straw. Malek sedang bekerja sama dengan Taco Bell untuk menciptakan es krim taco signature, sebuah produk yang terinspirasi dari Choco Taco yang populer. Meskipun hanya tersedia di gerai Salt & Straw, kolaborasi ini membuka banyak kesempatan bagi mereka untuk berkembang.

“Saat kami merilis sekitar 70 produk baru setiap tahun, itu hanya di 40 lokasi. Tapi sekarang, bekerja dengan Taco Bell yang memiliki 7.000 lokasi, kami bisa mendapatkan banyak sumber daya dan wawasan baru,” kata Malek. Kolaborasi ini telah menghasilkan modal, peralatan khusus, dan juga pembelajaran dari tim Taco Bell yang berpengalaman.

Keterbatasan Meningkatkan Daya Tarik

Salah satu faktor utama kesuksesan kolaborasi produk terbatas seperti Kraft Heinz dan Burt’s Bees adalah konsep kelangkaan, yang juga diadaptasi dari model “drop” produk yang dipopulerkan oleh merek streetwear. Model ini melibatkan pemasaran produk beberapa hari, minggu, atau bahkan bulan sebelumnya, sehingga saat produk dirilis, produk tersebut langsung laris manis.

“Brand dapat menggoda konsumen dengan teaser produk, yang membuat mereka terus kembali; setelah itu, mereka bisa merilis produk tersebut, dan akhirnya mendorong konsumen untuk membagikan pengalaman mereka di media sosial,” jelas Drenten. “Hal ini menciptakan konten yang sangat baik untuk media sosial, yang juga mengarah pada konten buatan pengguna.”

Model ini terbukti efektif untuk Kraft Heinz, yang kampanye kolaborasinya dengan Absolut Vodka terjual habis hanya dalam 10 menit. Fontenele juga mencatat bahwa kampanye ini berhasil meningkatkan penjualan Heinz pasta sauces hingga 52% dan menjadikan Heinz sebagai merek teratas di pasar selama periode tersebut. Di media sosial, kampanye ini mendapatkan lebih dari 500 juta impresi media di 30 negara, dengan 7,1 juta impresi organik hanya di TikTok.

Kesimpulan

Kolaborasi produk yang tidak biasa dan terbatas kini semakin populer, dan fenomena ini menunjukkan bagaimana merek dapat memanfaatkan kelangkaan dan media sosial untuk menciptakan daya tarik yang besar. Dari produk aneh hingga kemitraan yang menghasilkan efek halo, kolaborasi merek kini menjadi strategi yang sangat efektif dalam menarik perhatian konsumen, terutama di era pemasaran digital yang penuh dengan “consumer attention deficit.”

Seiring berkembangnya dunia pemasaran dan semakin dekatnya interaksi antara merek dan konsumen, tak terhindarkan bahwa lebih banyak kolaborasi produk aneh akan muncul, meramaikan pasar dan mengundang rasa penasaran konsumen. Jadi, siap-siap untuk produk-produk aneh lainnya yang akan terus muncul dan memikat pasar!


SEO Keywords: Kolaborasi Merek, Produk Terbatas, Kolaborasi Unik, Efek Halo, Marketing Digital, Kampanye Viral, Pemasaran Media Sosial, Konsumen Digital, Trend Produk, Pemasaran Kreatif.